Empat Bintang yang Padam di Langit Gaza Kisah Ibu yang Kehilangan Segalanya

by bsmi / 15 Sep, 2025

Serial Laporan Langsung dari Gaza
Oleh Israa 
(Kontributor BSMI di Gaza)


Di Gaza, derita tidak lagi dihitung dengan angka. Ia hadir dalam air mata seorang ibu, dalam hening yang ditinggalkan anak-anaknya, dan dalam luka yang tak pernah kering. Seperti kisah Mona Said al-Helou (51 tahun), seorang ibu dari tujuh anak yang hidupnya berubah selamanya pada malam 7 November 2023.

Sebelum serangan penjajah, Mona hidup sederhana di kawasan timur Syujaiyah, Gaza. Setelah suaminya wafat dua tahun lalu, beban keluarga dipikul anak sulungnya, Salman (26). Salman adalah penopang keluarga, baru menikah tujuh bulan sebelum serangan, dan tengah menanti kelahiran anak pertamanya. Tiga adiknya—Hamed (21), Abdurrazzaq (18), dan Muhammad (16)—selalu ada di sisinya, tumbuh penuh semangat dan harapan.

Namun zionis meluluhlantakkan segalanya.

Malam Terakhir Bersama Anak-anak

Beberapa jam sebelum maut menjemput, Mona masih berbincang dengan putra-putranya. Salman menenangkan ibunya: “Jangan khawatir, Yumma, aku bersamamu.” Hamed datang membawa tepung dan pakaian dengan wajah berbinar. Abdurrazzaq meminta ibunya memeluknya, sementara Muhammad berbisik lirih: “Ya Allah, jangan cabut nyawaku kecuali Engkau ridha padaku.”

Mona tak pernah menduga, itulah percakapan terakhir dengan mereka.

Ledakan yang Merenggut Segalanya

Malam itu, deru pesawat tempur memecah langit Syujaiyah. Hujan api menghantam kawasan padat penduduk. Mona yang sedang membaca wirid bergegas menghubungi anak-anaknya, namun tak ada jawaban. Keesokan paginya, yang tersisa hanyalah puing hitam dan rumah yang rata dengan tanah.

Keempat putranya gugur, bersama 24 anggota keluarga besar lainnya. “Aku ingin sekali menyalatkan mereka, mengantar mereka ke liang lahat,” lirih Mona. Tapi Salman dan Hamed ditemukan dalam keadaan hangus, sedangkan jasad Abdurrazzaq dan Muhammad tak pernah diangkat dari reruntuhan.

Derita yang Tak Berujung

Seolah kehilangan empat putra, pada 4 Januari 2024, serangan lain merenggut ibu dan saudara perempuannya saat mereka mengungsi di al-Zawaidah. Mona pun berpindah lagi ke Rafah bersama tiga putrinya, hidup di tenda pengungsian yang penuh kekurangan: air tak layak, makanan minim, dan rasa aman yang tak pernah hadir.

Namun di tengah duka yang dalam, kehidupan baru lahir.

Kehadiran yang Menghidupkan Kembali

Istri Salman, yang tetap bertahan di Gaza Utara, melahirkan putranya sebulan setelah sang ayah gugur. Bayi itu diberi nama Alaa, sesuai harapan Salman. Saat gencatan senjata diumumkan pada 27 Januari 2025, Mona berjalan kaki kembali ke utara demi bertemu cucu yang baru lahir itu.

“Ketika aku mendekap Alaa, rasanya seperti mendekap Salman, Hamed, Abdurrazzaq, dan Muhammad sekaligus,” tutur Mona dengan mata berkaca-kaca.

Iman dan Ketabahan

Kini Mona hanya punya satu doa: hidup tenang bersama putri-putrinya dan cucunya di rumah sederhana yang bisa mereka sebut sebagai tempat pulang. Meski luka kehilangan tak akan pernah pulih, ia berpegang pada keyakinannya:

“Aku akan bersabar atas ujian ini. Aku yakin kelak akan berkumpul kembali dengan mereka di surga.”